Filosofi
Surili dan Kujang Sebagai Simbol
PON
XIX Jabar 2016
Oleh: Ahmad Heryawan
(Gubernur Jabar & Ketua Umum PB PON XIX Jabar 2016)
Sekedar mengingatkan
kembali, pada Sabtu 8 Maret 2014 lalu di Bandung, senjata tradisional Sunda,
Kujang, serta primata khas Jabar, Monyet Surili, resmi ditetapkan Pengurus
Besar Pekan Olahraga Nasional (PB PON) XIX Jabar tahun 2016 sebagai logo dan
maskot kegiatan dua tahun ke depan.
Kami merasa bergembira
karena logo terpilih dari lebih 500 nominasi masuk, sekalipun sosialisasi lomba
kala itu belum optimal. Namun masyarakat, dan ini bukan hanya di Jabar, tapi
juga provinsi lain (salah satu pemenang dari Yogyakarta), penuh antusias mengikuti lomba.
Hal ini menandakan,
setidaknya di mata penulis, kegiatan ini sudah menciptakan sense belonging
tinggi pada masyarakat Indonesia. Semoga spirit ini tetap terjaga bahkan makin
berkobar hingga pelaksanaan PON nanti, 9-21 September 2014. Amin.
Dalam kesempatan ini,
khusus kepada pembaca Bandung Ekspress ysh, penulis akan menyampaikan
konsideran serta pesan di balik terpilihnya Surili dan Kujang sebagai simbol
PON XIX Jabar 2016.
Secara asal usul kata,
mengacu berbagai literatur yang dihimpun, Kujang berasal dari bahasa Sunda Kuno
yakni Kudi dan Hyang. Kudi artinya senjata dengan kekuatan sakti. Karena sakti,
maka kerap dijadikan sebagai jimat serta penolak bala (menghalau musuh dan
menghindari bahaya/penyakit).
Hyang artinya berkedudukan
di atas dewa. Hal ini antara lain termaktub dalam naskah kuno Sanghyang Siksa
Kanda Ng Karesian (1518 M), yang menuliskan “Dewa bakti di Hyang”. Namun bukan
soal kearifan budaya itu yang akan ditonjolkan dalam artikel ini.
Akan tetapi, kujang secara
subtansi adalah peranti egaliter yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis
masyarakat Sunda. Sisi egaliter tercermin antara lain dalam paragraf naskah
kuno tersebut, "Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau
sadap.”
Selain egaliter, kujang
sekaligus melambangkan kekuatan dan keberanian melindungi hak pemiliknya.
Sebagai provinsi agraris, yang sejak dulu hingga kini masyarakatnya banyak
bergerak di sektor pertanian, kujang menjadi cerminan profesi mayoritas masyarakat
di Tatar Sunda, sehingga sangat representatif menjadi maskot hajat olahraga
terbesar nasional ini.
Adapun Monyet Surili
dengan bahasa latin Presbytis Comata adalah primata yang hanya terdapat di Jawa
Barat dengan status terancam punah karena sisa populasi tersisa kini
4.000-6.000 ekor. Keberadannya sekarang hanya di kawasan hutan tergolong
kawasan konservasi, seperti Taman Nasional Gede Pangrango.
Surili telah dilindungi
secara internasional dengan status sebagai hewan dilindungi karena kelangkaannya
oleh IUCN (The International Union for Conservation of Nature), dan ini sudah
ditetapkan sejak tahun 1974!
Di Indonesia,
keberadaannya dilindungi SK Menteri Pertanian No. 247/Kpts/Um/1979 tanggal 5
April 1979, SK Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 tanggal 10 Juni 1991, dan
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Khusus Surili sebagai
maskot PON, disematkan pula iket sebagai salah satu penanda sandang Sunda. Kami
menghendaki agar masyarakat kembali aware dan mau peduli pada Surili --seperti
halnya banyak masyarakat Jabar sekarang bergairah menggunakan iket di berbagai
kesempatan.
Pesan
di Balik Kujang dan Surili
Dalam momentum 888 hari
menuju PON XIX 2016, sekaligus sosialisasi logo dan maskot, penulis mengajak
sidang pembaca semuanya mengambil pesan di balik simbol tersebut.
Yang utama adalah
terpilihnya Kujang dan Surili sebagai simbol yang sangat erat dengan kita
sebagai masyarakat Sunda, selayaknya kian mendorong kita meraih empat sukses.
Yakni sukses penyelenggaraan, sukses prestasi dengan menjadi juara umum, sukses
menggerakan roda ekonomi Jabar, serta sukses administrasi karena
penyelenggaraannya bersih dari KKN.
Kita harus makin
bersemangat memperoleh empat sukses tadi karena salah satu elemen penyelenggaraan
yaitu maskot dan logo sudah bersumber dari kekayaan khasanah masyarakat Sunda,
sudah datang dari sesuatu yang dekat dengan kita. Jangan malah terulang seperti
PON terakhir di Riau tahun 2012 lalu, dimana terjadi kesalahan administrasi
yang berujung pidana bagi Ketua PB PON kala itu yang notabene gubernur
setempat. Naudzubillah.
Selanjutnya, maskot yang
merepresentasikan tingginya khasanah budaya Sunda ini juga hendaknya mendorong
kita semua mampu membuktikan kualitas sama tingginya dalam penyelenggaraan
nanti.
Jabar (baik PON dan
masyarakat-nya) jelas harus mampu memperlihatkan, sebagaimana kebesaran Kujang
dan Suruli selama ini, bahwa kita bisa menampilkan ajang olahraga terbesar dan
terbaik sepanjang penyelengaraannya di Indonesia. Jabar kahiji!
Berita Terkini
Pemantapan Gerak Tim Lomba Senam Paket PORPI pada FORNAS VII Tahun 2023
Kegiatan Pelatihan Peningkatan Kapasitas SDM Olahraga Rekreasi